RUU ini mencakup sejumlah aspek krusial dalam hubungan industrial, yang bertujuan untuk menjawab tantangan ketenagakerjaan di era digital dan globalisasi. Dari pengaturan hubungan kerja, peningkatan pelatihan, hingga pengawasan ketenagakerjaan, pemerintah berharap RUU ini dapat menjadi kerangka hukum yang adaptif dan responsif terhadap perubahan zaman.
Poin-Poin Kunci RUU Ketenagakerjaan:
Hubungan Kerja dan Industrial: RUU mengatur ulang perjanjian kerja dan hubungan antara pengusaha dan pekerja, termasuk penguatan peran serikat pekerja.
Pengupahan dan PHK: Menjamin struktur pengupahan yang adil dan mekanisme PHK yang transparan serta manusiawi.
Jaminan Sosial dan Kesejahteraan Pekerja: Penguatan perlindungan melalui BPJS serta penekanan pada keselamatan dan kesehatan kerja (K3).
Pelatihan dan Pengembangan Kompetensi: Salah satu inti dari RUU ini adalah pengaturan pelatihan kerja yang sistematis untuk peningkatan keterampilan dan daya saing pekerja lokal.
Pengawasan dan Sanksi: Diperkuatnya peran pengawas ketenagakerjaan serta sanksi tegas bagi pelanggar ketentuan hukum.
Tenaga Kerja Asing (TKA): Pengaturan lebih ketat mengenai penggunaan TKA, termasuk kewajiban alih pengetahuan kepada tenaga kerja lokal.
Menurut Menteri Ketenagakerjaan RI, Yassierli, RUU ini merupakan penyempurnaan dari UU No. 13 Tahun 2003 yang dianggap belum sepenuhnya menjawab dinamika ketenagakerjaan saat ini.
> “RUU ini tidak hanya fokus pada perlindungan, tetapi juga pada pemberdayaan pekerja agar mampu bersaing di pasar kerja yang semakin kompetitif,” kata Yessierli dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (18/7).
Di sisi lain, beberapa serikat buruh menyambut baik adanya penguatan jaminan sosial dan pelatihan kerja dalam RUU ini, namun tetap mengingatkan agar hak-hak dasar pekerja tidak dikompromikan dalam proses legislasi.
“Kami akan mengawal proses pembahasan di DPR. Jangan sampai RUU ini hanya menguntungkan pengusaha tanpa menjamin kesejahteraan buruh,” ujar Agus Ruli Ardiansyah Sekjen Serikat Pekerja Indonesia.
RUU Ketenagakerjaan dijadwalkan masuk dalam pembahasan prioritas DPR pada masa sidang berikutnya, dengan target pengesahan sebelum akhir tahun 2025.
Dalam naskah akademik yang menyertai RUU Ketenagakerjaan, disebutkan bahwa reformasi ketenagakerjaan ini juga diarahkan untuk mengantisipasi perubahan struktur kerja akibat otomasi dan digitalisasi. Pemerintah ingin memastikan bahwa pekerja memiliki akses terhadap pelatihan berbasis teknologi dan keterampilan masa depan, seperti literasi digital, keahlian teknis, serta kewirausahaan. Hal ini dinilai penting untuk menurunkan angka pengangguran terbuka dan meningkatkan produktivitas nasional.
RUU ini juga memperkuat kewajiban pelaporan ketenagakerjaan oleh perusahaan, termasuk data tentang jumlah pekerja, jenis kontrak, dan kondisi kerja. Langkah ini dinilai penting untuk menciptakan sistem informasi ketenagakerjaan yang transparan dan terintegrasi, sekaligus menjadi dasar perumusan kebijakan yang lebih tepat sasaran. Pemerintah juga mendorong pembentukan lembaga kerjasama bipartit dan tripartit sebagai wadah penyelesaian masalah secara dialogis antara pekerja, pengusaha, dan pemerintah.
Sementara itu, kalangan pengusaha berharap aturan baru ini mampu menciptakan kepastian hukum dan iklim usaha yang kondusif. Ketua Asosiasi Pengusaha Nasional (APN), Shinta Widjaja Kamdani, menyatakan dukungannya terhadap semangat peningkatan kompetensi tenaga kerja. Namun, ia meminta agar regulasi baru tetap fleksibel dan tidak membebani dunia usaha secara berlebihan. "Keseimbangan antara perlindungan pekerja dan kelangsungan usaha adalah kunci utama," ujarnya. (Fahri)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar